Beranda | Artikel
Thawâf Ifâdhah
Selasa, 25 September 2018

THAWAF IFADHAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Thawâf Ifâdhah memiliki lima nama; 1) Thawâf Ifâdhah, 2) Thawâf Ziyârah, 3) Thawâf Fardhu, 4) Thawâf Rukun, 5) Thawâf Shadari. Penamaan thawâf Ifâdhah lebih masyhur dan lebih banyak digunakan para Ulama, disamping nama thawâf Ziyârah.

HUKUM THAWAF IFADHAH
Para Ulama sepakat menjadikannya sebagai rukun haji yang menjadi bagian dari keabsahan ibadah haji berdasarkan pada firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Dan hendaklah mereka melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). [al-Hajj/ 22:29]

Yang dimaksud dengan thawâf di dalam ayat ini adalah thawâf Ifâdhah.menurut ijma’ Ulama ahli tafsir sebagaimana dinyatakan Imam ath-Thabari rahimahullah : Tidak ada khilaf diantara para Ulama tafsir dalam hal ini. [Tafsîr ath-Thabari 9/142]

Sedangkan dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ – زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ» قَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ قَالَ: «فَلاَ إِذًا»

Sesungguhnya Shafiyah bintu Huyay – istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam – haid. lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Apakah Dia akan menahan kami? maka mereka berkata: Dia telah melakukan thawâf Ifâdhah. Beliaupun n bersabda: Tidak apa-apa, kalau begitu [HR al-Bukhâri 1757].

Imam al-Baghawi rahimahullah menyatakan: Jelaslah dengan hadits ini bahwa orang yang belum thawâf Ifâdhah pada hari Nahr tidak boleh meninggalkan Makkah. [Ma’âlim at-Tanzîl 5/382].

Demikian juga hukum ini sudah menjadi ijma’ dan ijma’ tentang kewajiban thawâf Ifâdhah telah disampaikan para Ulama diantaranya:

1. Al-Kasâni rahimahullah yang menyatakan: Adapun thawâf Ziyârah adalah wajib. Dalilnya yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Dan hendaklah mereka melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj/22:29) Yang dimaksud adalah thawâf Ziyârah menurut Ijma’. [Bada’i ash-Shana`i’ 2/117].

2. Al-Qurthuby rahimahullah menyatakan bahwa Ismâ’il bin Ishâq rahimahullah menyatakan, “Thawâf yang wajib yang tidak gugur dengan apapun adalah thawâf Ifâdhah yang dilakukan setelah Arafah. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). [al-Hajj/22:29]

Beliau berkata, “Ini adalah thawâf yang diwajibkan dalam al-Qur`an dan ia yang menjadikan orang berhaji menjadi halal (selesai atau lepas) dari seluruh ihramnya. al-Hâfizh Abu Umar rahimahullah menyatakan, “Yang disampaikan Isma’il tentang thawâf Ifâdhah adalah pendapat Imam Mâlik menurut Ulama ahli Madinah dan juga riwayat dari Ibnu Wahb, Ibnu Nâfi’ dan Ashhab dari Imam Mâlik rahimahullah. Ini juga adalah pendapat mayoritas Ulama dari ahli fikih Hijâz dan ‘Irâq. [Tafsir al-Qurthubi 12/51].

3. An-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Ketahuilah thawâf Ifâdhah adalah rukun yang tidak ada ibadah haji tanpa thawaf ini.” Beliau rahimahullah juga berkata, “Thawâf ini adalah salah satu rukun haji yang tidak sah haji tanpanya menurut Ijma’.” [al-Majmû’ 8/220].

4. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Thawâf yang disyariatkan ada tiga: thawâf Ziyârah dan ini salah satu rukun haji yang tidak sah haji tanpanya menurut Ijma’. [Al-Mughni 3/316]

5. Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan, “Mereka (para Ulama’) telah berijma’ bahwa yang wajib dari jenis thawâf yang hilang haji dengan tidak adanya adalah thawâf Ifâdhah [Bidâyataul Mujtahid 1/3443]

6. Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Mereka berijma’ bahwa thawâf lain yang dinamakan thawâf Ifâdhah di Ka’bah dan Wukuf di Arafah adalah fardhu [Marâtib al-Ijma’, hlm 76].

Jelaslah thawâf Ifâdah adalah salah satu rukun haji dan hukumnya wajib menurut ijma’.

WAKTU MEMULAINYA
Thawâf Ifâdhah memiliki waktu utama dan waktu boleh. Waktu utama yaitu hari Nahr (10 Dzulhijjah) di pagi hari setelah melempar jumrah, menyembelih hadyu dan mencukur rambut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari Nâfi’ rahimahullah dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَاضَ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بِمِنًى قَالَ نَافِعٌ: «فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُفِيضُ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُصَلِّي الظُّهْرَ بِمِنًى وَيَذْكُرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ»

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukan thawâf Ifâdhah pada hari Nahr kemudian kembali  lalu shalat Zhuhur di Mina. Nafi’ rahimahullah berkata, “Dahulu Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma melakukan thawâf Ifâdhah pada hari Nahr kemudian kembali, lalu shalat Zhuhur di Mina dan menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukan hal itu. [Shahih Muslim 9/58].

Imam an-Nawawi rahimahullah setelah menyampaikan hadits ini menyatakan bahwa dalam hadits ini ada penetapan thawâf Ifâdhah dan disunnahkan untuk melakukannya pada hari Nahr di pagi hari. Para Ulama telah bersepakat bawah thawâf ini adalah salah satu rukun haji yang tidak sah haji tanpanya dan mereka sepakat disunnahkan untuk dilakukan di hari Nahr setelah melempar Jumrah, menyembelih dan mencukur rambut. [Syarhu Shahih Muslim 9/58].

Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, yang menyatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أخَّرَ طَوَافَ يَوْمِ النَحْرِ إِلىَ اللَّيْلِ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengakhirkan thawâf hari Nahr hingga malam hari (HR Abu Dawud no. 2000), dihukumi para ulama seperti Ibnul Qayyim (Zâd al-Ma’ad 2/275-276), al-Albâni rahimahullah  (Dha’if Sunan Abi Dawud) dan Syu’aib al-Arnâuth rahimahullah sebagai hadits yang lemah.

Sedangkan tentang waktu bolehnya, sejak kapankah waktu boleh itu dimulai? Dalam masalah ini masih diperselisihkan oleh para Ulama dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama:
Waktu bolehnya itu dimulai sejak terbit Fajar hari Nahr.
Ini pendapat mazhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam mazhab Mâlikiyah serta sebuah riwayat dalam mazhab Hanâbilah. [Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/132].

Dalil pendapat ini:
1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam haji, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam yang menyatakan:

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku manasik kalian

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri melakukan thawâf Ifâdhah pada pagi hari Nahr bukan di malam hari Nahr. Sudah dimaklumi malam hari ikut hari sebelumnya bukan setelahnya dan siang hari dimulai dari terbit Fajar.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأُمِّ سَلَمَةَ لَيْلَةَ النَّحْرِ «فَرَمَتِ الْجَمْرَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ، ثُمَّ مَضَتْ فَأَفَاضَتْ، وَكَانَ ذَلِكَ الْيَوْمُ الْيَوْمَ، الَّذِي يَكُونُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَعْنِي – عِنْدَهَا»

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam melepas Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma untuk berangkat malam hari Nahr, Lalu beliau melempar jumrah sebelum fajar kemudian berlalu dan melakukan thawâf Ifâdhah. Hari itu adalah hari sekarang ini yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berada bersamanya. [HR. Abu Dawud no. 1942. Hadits ini dihukumi lemah oleh syaikh al-Albâni dan dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar, Ibnu Qudâmah, Imam an-Nawawi dan Syu’aib al-Arnâuth].

Terfahami dari hadits ini bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma melakukan thawâf setelah fajar, karena ia melempar jumrah sebelum Fajar. Jarak dari tempat pelemparan jumrah ke Makkah sejauh tujuh mil atau lebih, sehingga terfahami beliau sampai Makkah sesudah fajar terbit. Sehingga Ibnu Taimiyah raihmahullah menyatakan, “Jarak enam mil dilalui sekitar tiga jam, bahkan paling cepat dua jam. Apabila Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma berangkat setelah bulan tenggelam maka sangat mungkin mendapatkan fajat terbit di kota Makkah [Syarhul ‘Umdah 3/688].

Pendapat Kedua:
Dimulai dari pertengahan malam hari Nahr dan ini pendapat mazhab Syâfi’iyah dan Hanâbilah. [Lihat al-Umm 2/213, al-Majmuu’ 8/221, al-Mughni 3/312].

Dalil pendapat ini adalah:
1. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang digunakan oleh pendapat pertama di atas. Mereka menyatakan dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan Ummu Salamah berangkat malam hari Nahr lalu melempar jumrah kemudian tawaf Ifâdhah pada malam itu juga sebelum Shubuh. Sehingga ini mengisyaratkan bahwa waktu boleh mengerjakan thawaf ini dimulai setelah pertengahan malam.

2. Hadits Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّهَا نَزَلَتْ لَيْلَةَ جَمْعٍ عِنْدَ المُزْدَلِفَةِ، فَقَامَتْ تُصَلِّي، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: لاَ، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَتْ: «فَارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلْنَا وَمَضَيْنَا، حَتَّى رَمَتِ الجَمْرَةَ، ثُمَّ رَجَعَتْ فَصَلَّتِ الصُّبْحَ فِي مَنْزِلِهَا، فَقُلْتُ لَهَا: يَا هَنْتَاهُ مَا أُرَانَا إِلَّا قَدْ غَلَّسْنَا، قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ»

Sesungguhnya beliau (Asma’binti Abu Bakr) turun di malam tanggal 10 di Muzdalifah, beliau berdiri melakukan shalat sehingga shalat beberapa waktu, kemudian berkata, “Wahai anakku! Apakah Bulan telah hilang?” Aku jawab, ‘Belum.’ Lalu beliau shalat beberapa waktu, setelah itu bertanya lagi, “Apakah bulan telah hilang?” Maka aku menjawab, “Ya” Lalu beliau  Radhiyallahu anhuma berkata, “Berangkatlah kalian!” Kami pun berangkat sampai beliau selesai melempar jamrah lalu kembali dan menunaikan shalat Shubuh di rumahnya. Aku bertanya kepada beliau  Radhiyallahu anhuma , “eh sekarang ini aku tidak melihatnya kecuali masih gelap?” Maka beliau (Asma’)  Radhiyallahu anhuma menjawab, “Wahai anakku Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam mengizinkanya untuk para wanita. [HR. Al-Bukhâri no, 1679].

Dalam hadits ini Asma’ mengabarkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam membolehkan berangkat keluar dari Muzdalifah dan melempar jumrah setelah lewat pertengahan malam. Apabila hal ini diperbolehkan maka tentunya juga diperbolehkan melakukan thawâf  di waktu tersebut.

Pendapat Ketiga:
Siapa yang telah melakukan thawâf pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) sebelum hari Arafah, maka ia telah melakukan thawâf untuk ibadah haji pada waktunya. Ini salah satu pendapat dalam mazhab Mâlikiyah. [Lihat al-Kâfi Fi Fiqhi Ahlil Madinah, Ibnu Abdilbarr 1/363].

Dalil pendapat ini adalah orang yang melakukan thawâf  pada hari ini, berarti ia telah melakukan thawâf  pada waktunya. Waktu pelaksanaan ibadah haji dimulai dengan hari tarwiyah sehingga yang berthawâf  di hari itu telah berthawâf  pada waktunya, karena Allâh tidak mewajibkan dalam haji kecuali satu thawâf  dalam firman-Nya:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). [al-Hajj/22:29]

Huruf waw (و) dalam ayat ini menurut mereka tidak menunjukkan urutan kecuali dengan penentuan waktu, sehingga siapa yang melakukan thawâf  di hari Tarwiyah berarti dia telah melakukan thawâf  untuk haji pada waktunya. [Lihat al-Kâfi Fi Fiqhi Ahlil Madinah, Ibnu Abdilbarr 1/363]

Pendapat Yang Rajih
Bila melihat kepada dalil pendapat ketiga, tampak cukup lemah sekali karena ayat tersebut disepakati ahli tafsir untuk thawâf Ifâdhah yang dilakukan setelah wukuf di Arafah sehingga tidak boleh dilakukan sebelum wukuf.

Sedangkan pendapat pertama dan kedua dapat di kompromikan dengan membawa dalil pendapat pertama untuk umumnya orang dan dalil pendapat kedua untuk orang-orang khusus yang lemah. Sehingga menurut pendapat penulis, waktu bolehnya memulai thawâf  Ifâdhah berbeda sesuai perbedaan keadaan orang yang sedang berhaji, apakah dia orang yang lemah atau lemah tidak. Orang-orang lemah seperti kaum wanita, anak-anak, orang hamil dan orang-orang tua serta para pendamping mereka diperbolehkan melakukan thawâf setelah lewat pertengahan malam. Adapun orang yang sehat dan kuat, maka tidak diperbolehkan thawâf Ifâdhah kecuali setelah terbit matahari, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya yang tidak memiliki uzur tidak melakukan thawâf  Ifâdhah kecuali setelah terbit Matahari. Wallâhu a’lam.

AKHIR WAKTU THAWAF IFADAH
Tidak ada nash syariat yang menjelaskan tentang akhir waktu pelaksanaan thawâf  Ifâdhah sehingga mayoritas Ulama memandang tidak ada akhir waktu untuk thawâf  Ifâdhah. Waktunya ada selama hayat orang yang berhaji tersebut masih dikandung badan. Para Ulama juga bersepakat tentang  waktu utamanya yaitu hari Nahr dan mereka memakruhkan penundaan thawâf dari hari Nahr. Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Dimakruhkan menunda thawâf  dari hari Nahr dan penundaannya dari hari-hari Tasyrîk lebih dimakruhkan lagi serta keluarnya orang berhaji dari Makkah tanpa thawâf  lebih makruh lagi. [al-Majmû’ 8/220].

Namun mereka berselisih pendapat tentang keharusan membayar Dam (sembelihan) dengan sebab pengakhiran atau tidak dalam empat pendapat:

1. Tidak dikenakan Dam secara mutlak dan dalam waktu kapan saja dilaksanakan maka sah, hanya saja dia tetap berihram apabila belum bertahalul tahalul besar. Inilah pendapat Abu Yûsuf dan Muhammad bin al-Hasan dari ulama Hanafiyah, Atha’, Amru bin Dinâr, Sufyân bin Uyainah, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir dan riwayat dari Mâlik serta mazhab asy-Syâfi’iyah dan Hanâbilah. [Al-Umm 2/180, al-Majmû’ 8/224, Mughnil Muhtâj 1/504, al-Mughni 3/345 dan Kasyâf al-Qanâ’ 2/588].

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa tidak diharamkan menundanya beberapa tahun lamanya dan tidak ada akhir untuk waktunya. Tetap sah selama orangnya masih hidup [Syarh Shahîh Muslim 8/346].

Dalil pendapat ini adalah:

  • Pada asalnya tidak ada kewajiban membayar Dam (sembelihan) karena pengakhiran hingga ada dalil syar’i yang mewajibkannya dan di sini tidak ada dalil tersebut.
  • Thawâf tidak sama dengan manasik yang lainnya yang terikat waktu yang akan hilang dengan hilangnya waktu tersebut, sehingga apabila dilaksanakan maka sah dan tidak harus membayar dam akibat pengakhirannya.

2. Penundaan thawâf sampai selesai hari Nahr menuntut adanya Dam (sembelihan). Inilah pendapat Abu Hanifah [Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 3/79].

Pendapat ini berdalil dengan menyatakan bahwa thawâf  adalah salah satu manasik dalam haji, sehingga menjadikannya terikat dengan waktu hari-hari Nahr secara wajib. Sehingga bila diakhirkan dari waktunya berarti meninggalkan sebuah kewajiban dan meninggalkan kewajiban dalam Haji menuntut adanya penutup dengan dam (sembelihan). [al-Mughni 3/313]

Al-Kasâni rahimahullah berkata, “Menurut Abu Hanifah rahimahullah pengakhiran sama kedudukannya dengan meninggalkan pada hal-hal yang wajib ditutup, dengan dalil orang yang melewati Miqât tanpa berihram kemudian baru berihram (setelah lewat Miqât) maka diwajibkan membayar dam (sembelihan) walaupun seandainya tidak ada kecuali pengakhiran ibadah manasik…hingga menyatakan: Meninggalkannya  itu berarti meninggalkan dua kewajiban:

  • penunaian kewajiban itu sendiri
  • memperhatikan tempatnya

sehingga meninggalkan kewajiban ini menuntut adanya penutup dengan bayar dam [Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 3/79].

3. Penundaan thawâf sampai berakhir bulan Dzulhijjah menuntut adanya Dam. Inilah pendapat Mâlik  [Lihat at-Tâj wal Iklîl 3/130].

Pendapat ini berdalil  bahwa pengakhiran thawâf  sampai bulan Muharram adalah melaksanakan rukun di luar bulan haji dan pengakhiran rukun dari waktunya menuntut adanya pembayaran dam. [asy-Syarh Ash-Shaghîr 2/370].

4. Penundaan thawâf sampai berakhir bulan Dzulhijjah membatalkan haji. Inilah pendapat Ibnu Hazm wah-Zhâhiri [al-Muhalla 7/119].

Pendapat ini berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ 

 (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, [al-Baqarah/2:197]

Dimaklumi bulan haji ada 3 yaitu Syawâl, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Apabila selesai bulan Dzul Hijjah sebelum melakukan thawâf  maka telah batal hajinya karena berakhir waktunya sebelum sempurna thawâf nya. [al-Muhalla 7/172].

Pendapat Yang Rajih
Pendapat mayoritas ulama yang menyatakan pengakhiran thawâf  Ifâdhah tidak menuntut pembayaran dam walaupun telah berlalu hari nahr atau berakhir bulan Dzulhijjah adalah pendapat yang rajih –insya Allâh– , karena akhir waktunya tidak ada batasan dalam syariat. Oleh karena itu ahli fikih Madzhab empat sepakat menyatakan bahwa seandainya dilaksanakan walaupun dia bepergian dan kembali lagi, maka tetap sah. Mereka hanya berbeda dalam masalah kewajiban membayar dam saja dan tidak ada dalil yang mewajibkannya, karena asal hukumnya tidak ada kewajiban.

Sedangkan pendapat Ibnu Hazm raimahullah telah menyelisihi mayoritas ulama salaf, ditambah penafsiran beliau pada firman Allâh Azza wa Jalla “bulan yang dimaklumi” dalam ayat tersebut menyelisihi sejumlah ulama besar ahli tafsir seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, as-Suddi rahimahullah, asy-Sya’bi rahimahullah dan an-Nakha’i yang menafsirkannya dengan bulan Syawâl, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.

Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9819-thawaf-ifadhah.html